Blogger news

Loading

free all operator

Sabtu, 24 Maret 2012

Polemik Penetapan dan pemilihan Gubernur Yogyakarta (Observasi tuugas mata kuliah Sosiologi Politik)



A.     Substansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta
Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940; Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat 30 Oktober 1945; Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949; Penjelasan pasal 18,UUD 1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945; Pasal 2, UU NO. 3/1950; Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal : Pertama, Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia.
Kedua, Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950).
Ketiga, Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta TETAP DALAM KEDUDUKANNYA dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003.
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya.
Pada tahun 2000,MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
Sedangkan berdasarkan wawancara yang kami lakukan dengan ketua Perhimpunan Solidaritas Buruh (PSB) , bapak Yuli, beliau mengatakan “substansi istimewa itu sendiri bukan dari segi politik. Namun lebih berorientasi pada keistimewaan  keutamaan rakyatnya”.
Yang dimaksudkan berorientasi pada keistimewaan keutamaan rakyat adalah pemenuhan terhadap hak-hak rakyat yang lebih menguntungkan rakyat, bukan mementingkan kepentingan elit politik seperti pendidikan gratis, jaminan kesehatan gratis, fasilitas dan jasa umum lainnya yang juga gratis.
Apabila kesemuanya itu masih membayar dan dengan biaya yang tidak murah, hal ini tidak bisa dikatakan istimewa. Jadi istimewa ini bisa dikatakan percuma apabila fasilitas di daerah Yogyakarta dengan daerah lain masih sama. Karena yang di maksudkan istimewa yaitu berbeda dengan yang lain.Misalnya pendidikan di Yogyakarta itu gratis, jadi ada perbedaan pada bidang pendidikan antara di Yogyakarta dengan daerah lain.
Kemudian berdasarkan wawancara kami dengan bapak Mulyadi selaku ketua LSM Ismoyo, beliau mengatakan “keistimewaan Yogyakarta itu karena Yogyakarta memiliki keraton dan keraton memiliki sultan Hamengkubuwono sebagai Gubernur dan Adipati Pakualaman sebagai Wakil Gubernur seumur hidup”.
Jadi menurut bapak Mulyadi, substansi istimewa Yogyakarta lebih berorientasi karena memiliki keraton yang sultan dan adipatinya sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Hal ini lah yang membedakan Yogyakarta dengan daerah lain yang Gubernur atau kepala pemerintahannya di pilih oleh rakyatnya.

B.     Reaksi masyarakat Yogyakarta terhadap isu polemik penetapan dan pemilihan Gubernur
Membahas mengenai isu polemik penetapan dan pemilihan gubernur, tidak akan lepas dari reaksi atau sikap dari masyarakat Yogyakarta. Sikap dan tanggapan masyarakat Yogyakarta terhadap isu ini terbagi menjadi dua, yakni yang pro atau setuju dengan penetapan dan yang kontra atau menentang.
Pertama yang akan kita jabarkan adalah pihak yang pro dengan penetapan. Antara lain paguyuban-paguyuban desa, perkumpulan kepala desa se-DIY, serta orang-orang yang tinggal diatas tanah keraton semuanya mendukung adanya penetapan, dan masih banyak yang lain.
Ketua Perkumpulan Kepala desa se-DIY, bapak Mulyadi pun setuju dengan penetapan daripada pemilihan dikarenakan penetapan ini sudah menjadi tradisi turun menurun sejak zaman dahulu. Jadi tradisi ini harus tetap dijaga supaya kultur Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa tidak hilang.
Kemudian berdasarkan wawancara lapangan yang kami lakukan dengan salah seorang warga di jalan Madiosuro, yaitu bapak Joni, beliau mengatakan setuju terhadap penetapan daripada pemilihan. Alasannya yaitu karena keraton telah memfasilitasi mereka, seperti tanah yang mereka tempati, dan sebagainya. Jadi bisa dikatakan ini sebagai bentuk balas budi mereka terhadap keraton. Karena apabila mereka setuju dengan pemilihan, tanah yang mereka tempati yang merupakan pemberian keraton akan diambil oleh pemerintah dan bisa saja mereka tergusur.
Dan berdasarkan hasil penelitian Laboratorium Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta disebutkan:
1.      96,6% penduduk DIY mendukung keistimewaan.
2.      97,5% penduduk lulusan Perguruan Tinggi (PT) mendukung keistimewaan.
3.      93,2% penduduk DIY mendukung penetapan sultan sebagai Gubernur.
4.      94% Penduduk lulusan Perguruan Tinggi (PT) mendudukung penetapan.
5.      Wilayah loyalitas keistimewaan tertinggi Gunung Kidul (96%) dan Bantul (89%).

Sedangkan pihak-pihak yang kontra dengan adanya penetapan hanya sebagian kecil dari keseluruhan masyarakat Yogyakarta.Mereka yang tidak setuju dengan penetapan bisa dikatakan kalah suara dengan pihak-pihak yang pro penentapan. Jadi, mereka yang kontra atau tidak setuju dengan penetapan tidak bisa mengekspresikan ketidak setujuan mereka.
Beberapa diantara yang tidak setuju dengan penetapan adalah bapak Hary Begi selaku anggota Forum LSM DIY. Selain itu, di dalam LSM yang pro dengan penetapan, ada juga pihak-pihak yang kontra dengan penetapan. Pihak-pihak yang kontra ini , termasuk bapak Hary Begi yang kami temui di forum LSM se-DIY beranggapan sistem pemerintahan turun menurun sudah tidak pas di pakai pada abad ke-20 ini. Dan beliau lebih setuju terhadap pemilihan.
Disamping hal itu,Pihak-pihak yang kontra dengan penetapan ini tidak bisa secara terang-terangan menentang adanya penetapan karena tidak ada yang mengkoordinir. Jadi mereka hanya bisa mengungkapkan ketidaksetujuan mereka secara sembunyi-sembunyi dan hanya sebatas opini dan kabar burung.
Menurut Bapak Mulyadi ketua perkumpulan Kepala desa se-DIY menyatakan bahwa Presiden SBY juga ikut mempersulit, dan mengulur-ulur waktu penetapan RUU Keistimewan Yogyakarta. Hal ini di karenakan, menurut SBY negara kita merupakan negara demokrasi. Dalam negara demokrasi, Gubernur dari suatu daerah di pilih oleh rakyatnya, bukan penetapan atau turun temurun dari keraton.  Dan karena hal inilah status keistimewaan Yogyakarta akan dicabut oleh presiden SBY.
Upaya sultan untuk megundurkan diri dari jabatannya sebagai gubernur yogyakarta dikarenakan masih tidak menentunya nasib pemerintahan DIY, antara penetapan RUU dengan PEMILU yang dilakukan provinsi lain. Sampai – sampai Menteri HANKAM mengeluarkan SK yang berisi tentang perpanjangan masa jabatan Sri Sultan HB X selama satu tahun.

C.     Keistimewaan Yogyakarta bagian dari Ijab Qabul
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mengatakan, keistimewaan Yogyakarta sebagai bagian dari ijab kabul yang keberadaannya diakui oleh konstitusi sehingga Pemerintah Pusat diminta berkomitmen agar merampungkan Rancangan Undang-undang Keistimewaan DIY. Keistimewaan DIY merupakan bagian dari ijab kabul yang disepakati oleh pendiri bangsa.
 Berdasarkan wawancara yang kami lakukan dengan bapak Yuli selaku ketua LSM Perhimpunan Solidaritas Buruh (PSB), beliau mengatakan “ ijab kabul itu ditandai dengan komitmen Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman bergabung dengan Republik Indonesia pada 5 September 1945. Maklumat 5 September 1945 antara lain menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari NKRI. Sultan sebagai kepala daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sultan bertanggungjawab atas Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat langsung kepada Presiden RI.
Secara alur sejarah, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII usai Proklamasi 17 Agustus 1945 langsung mengirimkan telegram ke Jakarta yang berisi dukungan kemerdekaan Republik Indonesia. Langkah itu langsung disikapi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan memasukkan poin keistimewaan Yogyakarta dalam pasal 18 UUD 1945 dan diatur dalam pasal peralihan. Dalam kurun waktu antara 18 Agustus-5 September 1945 Pemerintah Republik Indonesia dan dua pemerintahan di Yogyakarta terus melakukan komunikasi intensif dan baru pada 6 September 1945 piagam pengakuan dari pemerintah pusat dikirimkan ke Yogyakarta.
Inilah yang disebut dengan ijab kabul antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman. Ini yang perlu dipertanyakan adalah komitmen Pemerintah Pusat terhadap keistimewaan DIY, yang RUU-nya belum juga rampung. Silakan saja kalau tidak mengakui ijab kabul antara Sultan Hamengku Buwono IX dan Presiden Soekarno saat itu, tetapi ya, tanya rakyat Yogyakarta dulu. Sultan mengatakan pembahasan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta masih di Panitia Kerja (Panja) DPR RI.
Beberapa LSM yang kami temui mengaku tidak tahu apa yang menjadi kendala tersendatnya penyelesaian RUU Keistimewaan DIY ini.Namun mereka mengharapkan RUU Keistimewaan Yogyakarta tersebut sudah dapat disahkan dalam waktu dekat dikarenakan jabatan Gubernur DIY yang disandang Sri Sultan akan berakhir bulan Oktober 2011. Sri Sultan menyatakan dirinya tetap berkomitmen mendukung Pemerintah Republik Indonesia namun juga berpesan agar Pemerintah Pusat jangan meninggalkan ijab kabul tersebut. Pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta antara Pemerintah dan DPR tinggal menyelesaikan pembahasan satu pasal RUU tersebut terkait mekanisme pengisian jabatan gubernur-wakil gubernur DIY. Pemerintah dan DPR belum mendapatkan titik temu mengenai pengisian jabatan gubernur-wakil gubernur DIY diatur dengan cara penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertakhta atau melalui pemilihan. 

KESIMPULAN
Ketidakjelasan sistem pemerintahan yogyakarta membuat banyak pihak kebingungan. Tak terkecuali Sri Sultan HB X, beliau merasa bimbang mengemban status sebagai gubernur Yogyakarta yang status keistimewaannya tentang sistem pemerintahan akan dirubah, akankah tetap pada penetapan atau berubah menjadi pemilihan. Sri Sultan HB X mengungkapkan, referendum menjadi pilihan tepat untuk mengerti kehendak rakyat. Akan tetapi Sultan hingga saat ini juga belum mengajukan secara resmi terkait permintaan referendum itu. Wacana referendum ada karena sampai sekarang Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY tidak kunjung tuntas dan pemerintah juga kurang tegas dalam mengesahkan dan menetapkan RUU.
Tentunya permasalahan tentang penetapan atau pemilihan timbul banyak reaksi dari masyarakat Yogyakarta. Timbul beberapa pendapat dari pihak yang pro atau setuju dengan penetapan dan yang kontra atau menentang. Terlepas dari pihak pro ataupun kontra, tentunya semua pihak menginginkan keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak pada bentuk pemerintahan dan kepala pemerintahannya saja, melainkan pada kepentingan rakyat yang mementingkan kesejahteraan rakyat

SARAN
Sebaiknya pemerintah lebih tegas lagi dalam mengambil keputusan. Dari pada ribut dan pemerintah juga tidak berani membuat membuat keputusan lebih baik pemerintah pusat menggelar referendum saja. Biar rakyat menentukan sikap politiknya terkait penetapan atau pemilihan dalam memilih gubernur DIY ke depan. Referendum menjadi pilihan tepat untuk mengerti kehendak rakyat. Sebab, pemilihan atau penetapan adalah proses demokratisasi. Oleh karena itu, untuk memilih apakah melalui penetapan atau pemilihan, juga menjadi hak rakyat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

demi demokrasi pemilihan adalah pilihan, tapi ats nama sebuah 'janji" maka pentapan bukanlah sesuatu yang menyalahi, toh sudah merupakan sebuah kesepakatan dan Founding father negeri ini..

Posting Komentar