Kita pantas berusaha agar Negara-Bangsa
Indonesia yang merdeka dan berdaulat bisa sintas (survive) hingga
tetap eksis sampai kiamat. Untuk itu, sudah sewajarnya kita terus-menerus
memedulikan suasana damai dalam kehidupan bersama.
Perdamaian intern ini terwujud apabila
kelompok-kelompok—daerah, suku, komunitas religius dan adat—merasa puas
karena telah berkesempatan menghayati nilai-nilai, atau setelah ada kepastian
bahwa penghayatan tersebut akan terlaksana, sedangkan kematian biologisnya
tidak mengandung unsur bunuh diri kolektif yang terorganisasi, terpimpin, dan
terpaksa. Namun, realisasi perdamaian intern saja tidak cukup. Bersamaan
dengan itu kita harus pula mengukuhkan kesintasan dan kekuatan, dua sisi dari
kebajikan nasional, yaitu kepastian eksistensi Negara-Bangsa Indonesia.
Berarti kita perlu menyadari kondisi keberadaan Indonesia di bumi.
Negara Maritim
Permukaan bumi yang ditempati Indonesia
dinamakan oleh geografi ”archipelago”, istilah yang menyatakan framentasi.
Kita biasa menyebutnya ”gugusan pulau”, sebuah ekspresi yang, tanpa
penjelasan, bisa keliru dan memang telah menyesatkan kebijakan pembangunan
negara kita sejak zaman Orba hingga Orde Reformasi dewasa ini.
Gugusan pulau memberikan gambaran ”pulau-pulau
yang dikelilingi air”, padahal sejatinya adalah ”perairan yang bertaburkan
pulau-pulau”. Sebutan ”tanah air” oleh nenek moyang kita bagi bumi Indonesia,
yang dikukuhkan oleh Sumpah Pemuda 1928, tepat sekali mengingat luas lautan
merupakan 75 persen dari keseluruhan wilayah nasional kita. Jadi, Indonesia
setepatnya bukan ”negara kepulauan”, tetapi ”negara maritim”.
Nenek moyang kita membuktikan sudah bersemangat
dan berbudaya maritim. Sriwijaya di abad VIII adalah kerajaan maritim yang,
dengan kekuatan armadanya yang tangguh, mendominasi perniagaan laut dan
menjamin jalur-jalur pelayaran yang melintas di wilayah kekuasaannya.
Majapahit di abad XIV, walaupun kehidupan utama rakyatnya berdasarkan
pertanian di darat, membangun armada dagang dan armada perang demi menjamin
keefektifan kekuasaannya.
Aceh abad XVI, semasa pemerintahan Sultan
Alauddin Riayatsyah Saidil Muka- mal, telah membentuk armada perang sebanyak
seratus kapal. Di bawah pimpinan Laksamana Malahayati, seorang perempuan,
sebagian dari kapal-kapal itu berhasil menumpas armada Portugis, yang ketika
itu tergolong adikuasa. Kita juga mengenal tokoh-tokoh legendaris
kepahlawanan di laut dari kerajaan maritim di Riau: Hang Tuah, Hang Jebat,
Hang Lekir, Hang Kesturi.
Ketika Belanda akhirnya bisa menguasai
Indonesia di abad XVIII melalui politik divide et impera, upaya mematikan
jati diri kita sebagai bangsa maritim menjadi agenda kolonialnya yang utama. Penjajah
ini membatasi akses kita—penduduk pribumi, inlander—untuk berhubungan dengan
laut. Ia melarang kita berniaga dengan bangsa lain kecuali Belanda. Padahal,
suatu peradaban bermula secara alami di daerah pesisir di mana penduduknya
berkesempatan melakukan interaksi dengan pendatang asing.
Belanda juga menutup akses pemuda terpelajar
kita ke pendidikan perang maritim modern. Hingga saat runtuhnya kerajaan
Belanda oleh serbuan Nazi-Jerman tahun 1941, Akademi Angkatan Lautnya (Den
Helder) tetap menolak kadet asal Indonesia, padahal Akademi Angkatan Daratnya
(Breda) sudah lama bersedia menerima.
Membangkitkan Batang
Terendam
Bung Karno yang gemar mendalami sejarah
kiranya menghayati natur kemaritiman Indonesia. Dengan petunjuknya, PM
Djuanda membuat Deklarasi Wawasan Nusantara pada 13 Desember 1957 dan mulai
memperjuangkan di forum internasional asas ”archipelago Indonesia”
bersendikan Konvensi PBB 1958 tentang batas landas kontinen melalui the United Nations
Convention on the Law of the Sea(UNCLOS). Di pembukaan Munas Maritim 1963 Bung Karno menegaskan
lagi bahwa kita tidak bisa menjadi kuat, sentosa dan sejahtera selama kita
tidak kembali menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu. Dia menunjuk Ali
Sadikin sebagai Menteri Koordinator Maritim dengan tugas membangun Laut
Nusantara yang begitu luas sebagai pilar utama penggerak perekonomian
nasional.
Baru di tahun 1982 UNCLOS mengakui kepemilikan
laut Indonesia seluas 5,8 juta kilometer persegi—sekitar 75 persen dari luas
total wilayah nasional—yang terdiri atas wilayah teritorial seluas 3,2 juta
kilometer persegi dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 kilometer
persegi. Walaupun ketentuan internasional sudah diratifikasi dan mulai
berlaku tahun 1994, sekitar 70 persen ZEE Indonesia belum disepakati negara-negara
tetangga. Persepakatan di meja perundingan sulit dicapai berhubung pemerintah
kita sendiri kurang serius dan lawan berunding tahu persis Indonesia tidak
memiliki kekuatan laut riil sebagai pendukung perundingan.
Ketidakseriusan pemerintah tecermin pada
insiden Gugus Tempur Kapal Induk USS Carl Vinson Juli 2003 di perairan
Bawean, lepasnya pulau-pulau terluar Sipadan dan Ligitan, pembiaran
pengerukan pulau perbatasan bagi keperluan Singapura memperluas daratannya.
Selain ini sejak rezim Orba, semua pemerintahan di era reformasi tetap bangga
melaksanakan land based oriented development yang dipandu Bank
Dunia dan IMF. Pemimpin kita ”dipangku” oleh ide ekonomi liberal hingga
”mati” kesadaran nasionalnya.
Benua Keenam
Bumi Indonesia ditakdirkan bernatur maritim.
Mengingkari takdir ini berarti mengabaikan particular natural
endowments yang dianugerahkan Yang Maha Kuasa kepada kita. Perairan ZEE
kita saja sudah berpotensi menghasilkan kira-kira 6,7 juta ton ikan per
tahun. Belum lagi laut nasional yang seluas 75 persen dari seluruh permukaan
wilayah nasional. Dengan ini kita berarti dianugerahi sebagian penting dari
laut dunia yang volumenya sebesar 18 kali dari tanah yang ada di permukaan
air. Laut kini dijuluki ”benua keenam” karena mengandung aneka kekayaan,
bahan baku industrial, yang terdapat di dalam air laut, terletak di dasar
laut, dan terkandung di dalam tanah di bawah laut.
Di setiap satu kilometer kubik air laut,
selain mengandung oksigen dan hidrogen, terdapat pula 35 juta ton garam,
66.000 ton bromium, 200 ton litium, 50 ton yodium, satu ton titanium,
uranium, perak dan emas. Di dasar laut ada bungkalan- bungkalan sebesar
kentang yang mengandung mangan, besi, nikel, tembaga, kobalt, titanium, dan
vanadium. Di dasar Samudra Pasifik sebelah selatan terdapat tumpukan gumpalan
semacam ini sejumlah 200 miliar ton di samping bahan-bahan fosfor. Adapun
bumi di bawah permukaan laut mengandung minyak dan gas.
Jadi, takdir tidak memojokkan kita. Di dalam
bingkainya Indonesia sebenarnya punya banyak peluang menyempurnakan nasib
ketahanan nasional yang mantap. Untuk tujuan wajar itu, selain harus berusaha
menguasai aneka kemampuan teknologis, kita perlu pula menetapkan landasan
politik kebumian yang kukuh dan relevan dengan perkembangan bangsa-bangsa di
sekitar kita di kawasan Pasifik. Landasan politik ini merupakan satu
keniscayaan bagi kemantapan dan konsistensi manajemen pemerintahan ke arah
ketahanan nasional. Berarti, kita perlu mengaitkan geografi dengan politik
atau merumuskan satu geopolitik Indonesia.
Ada dua unsur pokok yang ditawarkan oleh
geografi kepada politik, yaitu ”ruang hidup”, yang ditentukan oleh keluasan
serta karakter fisiknya dan ”posisi”, yang menempatkan ruang di bumi serta
mengondisikan relasi-relasinya. Bobot dari kedua unsur itu bisa berbeda
karena urgensi politiko-strategis kita kaitkan dengan ”dunia luar”,
faktor-faktor eksternal: perkembangan/pergolakan di kawasan Pasifik. Area
total dari kawasan ini adalah yang terluas dari semua area geografis di
dunia. Namun, permukaan tanah (pulau) yang ada di situ tergolong yang
terkecil, sementara yang terbesar di antaranya adalah tanah (pulau) Papua
Barat dan Timur. Kawasan yang sangat terpecah-belah dalam term kebangsaan ini
terdiri atas tiga daerah budaya: Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia.
Yang paling bergolak di kawasan Pasifik dan
diperkirakan akan terus begitu di masa depan adalah daerah Laut China
Selatan, suatu perairan bertaburkan beberapa kepulauan yang sudah diketahui
kaya dengan sumber alam. Ada enam negara Pasifik yang kini mengklaim
kedaulatan nasionalnya atas kepulauan kaya itu dan satu di antaranya China
yang sudah berupa satu kekuatan laut. Mengingat laut ini juga menghubungkan
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, jadi berfungsi selaku jalur transportasi
perdagangan antarkawasan—Eropa Barat dan Timur, Timur Tengah, Asia Tenggara
dan Timur—Amerika Serikat dan Rusia merasa berhak campur. Maka, bagian
Pasifik ini berpotensi besar jadi semacam Mare Nostrum zaman dahulu.
Bila demikian, Papua dan Maluku serta
perairannya masing-masing merupakan ruang hidup terdepan Indonesia yang
paling rawan terhadap gejolak di Laut China Selatan sekaligus unsur
konstitutif yang sangat menentukan derajat ketahanan nasional. Dalam
imajinasi geopolitik Indonesia, Papua dan Maluku berperan bagi ”jantung”
Tanah Air, sementara pusat massa air arsipel Indonesia dan kepulauan Sunda
Besar dan Sunda Kecil yang tersebar di situ menjadi ”arteri”.
Dengan begitu, maksim geopolitik Indonesia
berbunyi: siapa yang ”menguasai” jantung arsipel Indonesia akan menguasai
arterinya dan siapa yang ”menguasai” arteri akan berdaulat atas keseluruhan
Negara-Bangsa Indonesia. Maksim ini selanjutnya menjadi rujukan dalam
penjabaran konsep geostrategi Indonesia. ●
|
0 komentar:
Posting Komentar