Blogger news

Loading

free all operator

Minggu, 16 Desember 2012

PENERAPAN HAK ATAS TANAH DI BALI (Studi Kasus Desa Panglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali)



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam kehidupan baik oleh individu, kelompok maupun negara. Dalam usaha memenuhi kebutuhan kehidupan dari masing-masing individu maupun kelompok tersebut tanah berfungsi sebagai tempat tinggal maupun sebagai lahan pertanian dan perkebunan.
Sebagai negara agraris, tanah merupakan lahan penghidupan bagi tiap-tiap orang untuk mencapai kemakmuran di berbagai bidang. Selain itu tanah juga merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu bangsa dan manfaatnya harus dapat diusahakan dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan perkembangan zaman pesatnya proses pembangunan di Indonesia bukan saja memaksa harga tanah di berbagai tempat akan naik, tetapi juga telah menciptakan fenomena tanah sebagai “komoditi ekonomi” yang mempunyai nilai sangat tinggi, sehingga besar kemungkinan laju pertumbuhan pembangunan di Indonesia akan mengalami hambatan.
Sebelum tahun 1960, yakni sebelum berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok pokok Agraria ( yang lebih popular dengan sebutan UUPA). Di Negara kita masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan yaitu hukum adat dan hukum barata (K. Wancik Saleh, 1982:8). Sehingga ada dua macam tanah, yaitu “tanah adat” atau bisa disebut “tanah Indonesia”, yaitu tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum (agraria) adat, sepanjang tidak diadakan ketentuan khusus untuk hak-hak tertentu. Misalnya untuk hak agrarische eigendom berlaku ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam staatblaad 1872 No. 117.
Hampir semua tanah-tanah adat tidak terdaftar seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah bengkok, tanah grogol dan lain-lainnya. Sedangkan tanah-tanah seperti, tanah grant, agrarische eigendom, tanah-tanah milik didalam kota Yogyakarta dan Surakarta serta tanah-tanah milik yang di daerah-daerah lainnya di Jawa, Bali, Madura, Lombok, Sulawesi telah terdaftar di kantor Landrente untuk keperluan pajak bumi. Jadi pendaftaran ini bersifat “fiscal kadaster”. Sedang yang dimaksudkan dengan pendaftaran tanah yang diadakan untuk memberikan kepastian hak dan kepastian hukum “rechtskadaster”.

Dilain pihak tanah-tanah barat atau tanah-tanah barat atau tanah-tanah Eropa, dapat dikatakan hamper semuanya terdaftar pada kantor Pendaftaran Tanah menurut “Overschrijvings ordonantie” atau Ordonansi Balik Nama (Stb. 1834 no. 27). Tanah-tanah barat ini tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum agrarian Barat, misalnya mengenai memperolehnya, peralihannya, lenyapnya, pembebanannya dengan hak-hak lain dari wewenag-wewenang serta kewajiban-kewajiban yang mempunyai hak itu. Tanah-tanah Barat ini tidak sebanyak tanah-tanah Indonesia, tanah-tanah itu seakan-akan merupakan pulau-pulau ditengah-tengah lautan Indonesia (Boedi Harsono, 1970:40).
Untuk menyebutkan istilah tanah adat dalam tata perundang-undangan Hindia Belanda dahulu mempergunakan kata-kata seperti (pasal 62 RR/51 IS)
-       Gronden door de Inlanders ontogonnen (=tanah sudah digarap oleh bangsa Indonesia)
-       Gronden als gemeene weide of uit enigenanderen hoofed tot de dorpen of dessa’s behoorende (=tanah yang termasuk kepunyaan desa baik sebagai tanah pengembalaan bersama maupun dengan sifat lain).
-       Gronden door Inlanders in erfelijk individueel gebruik bezitten (=tanah yang dipunyai oleh bangsa Indonesia dengan hak milik)
-       Gronden door Inlanders voor eigen gebruik ontgonnen (=tanah yang digarap oleh bangsa Indonesia untuk keperluan sendiri). (Iman Sudiyat, 1981:6)
Dari istilah-istilah yang diberikan oleh peraturan Hindia Belanda tersebut maka tanah-tanah adat mencakup:
1.    Tanah hak ulayat
2.    Tanah hak ulayat yang dikuasai oleh rakyat
3.    Tanah yang sudah lepas dari genggaman hak ulayat
Menurut hukum adat, dilihat dari campur tangan hak-hak  persekutuan atas tanah, maka hak-hak atas tanah  dibedakan menjadi:
1.    Hak ulayat persekutuan atas tanah (baschikikingsrecht)
2.    Hak perorangan terkekang atas tanah (ingelkemd inlands bezitsrecht)
3.    Hak milik perorangan bebas (inlands bezitsrecht)
Jadi hak milik hukum adat yang termasuk tanah-tanah adat adalah tanah-tanah hak ulayat persekutuan dan tanah-tanah hak perorangan terkekakang. Sedangkan hak milik perorangan bebas tidak disebut sebagai tanah adat. Sampai batas ini maka tanah-tanah adat dapat diberi batasan, tanah-tanah yang bukan milik perorangan, tetapi milik kaum, suku, desa dan sebagainya, dan tidak seorang pun bisa mendakwakan bahwa tanah itu milik pribadinya dan tetap dibawah persangkut pautan (campur tangan) hak ulayat persekutuan (Bdk Mochtar Naim, 1977:5).
Konsep komunal religius merupakan salah satu hasil penuangan hukum adat sebagai bahan utama dalam pembentukan UUPA, di samping  asas-asas, dan lembaga hukum serta sistem pengaturan yang menjadi isi politik Hukum Tanah Nasional. Dalam hukum adat mengenai tanah, konsep komunal religius mengandung makna, bahwa tanah ulayat diyakini sebagai anugerah dari kekuatan gaib dan sebagai milik bersama. Hak milik pribadi hanya berlaku dalam pengertian hak memperoleh dan mengurus atau mengelolanya. Konsep ini kemudian diimplementasikan dalam UUPA dengan bentuk penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan (Pasal 16 jo Pasal 20, Pasal 6 UUPA). Jadi regulasinya direfleksikan untuk lebih diarahkan pada pendaftaran hak perorangan atas tanah. Dampaknya status “ayahan” yang awalnya melekat pada tanah-tanah adat yang dikuasai secara individu akan hilang karena tanah tersebut telah didaftarkan melalui konversi. 
Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura. Karakteristik daerah Bali sangat tampak dari kehidupan Agama Hindu, adat, dan budaya yang menyatu padu dalam suasana harmonis dengan tidaklah terlepas dari peran serta seluruh komponen serta warisan suatu prinsip kesatuan masyarakat yang ada jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu Desa Adat.
Sejak jaman Bali Kuna yaitu sekitar abad 9, masyarakat Bali yang disebut kraman telah mengenal desa dengan sebutan desa atau desa pakraman. Menurut Liefrinck, 1886, desa di Bali merupakan republik kecil yang memiliki hukum atau aturan budaya adatnya sendiri dengan susunan pemerintahannya bersifat demokratis dan memiliki otonomi. Sejarah desa pakraman dapat dilihat di dalam lontar Markandya Purana yang menceritakan perjalanan Maharsi Markandya dari Jawa Timur ke Pulau Bali. Dengan masuknya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda ke Bali Selatan (1906-1908) muncullah dua desa yaitu desa lama (Desa Pakraman) dan desa baru (Desa Dinas bentukan Belanda).
Sejarah tanah adat di Bali tidak terlepas dari sejarah desa pakraman yang diawali dari perjalan Rsi Markandya membagikan tanah kepada para pengikutnya. Setelah masa Yogi Markandya, munculah kerajaan Mayadanawa (959-974M) hingga kepemerintahan Raja Udayana Warmadewa dan istrinya Gunapriya Dharmapatmi pada tahun 988-1011M. Pada saat itu berlangsung suatu Pesamuan Agung dimana dicetusakanlah suatu paham Tri Murti dan lahirlah lima keputusan pokok yaitu :
1. Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan
2. Pada setiap Desa Adat harus didirikan Kahyangan Tiga sebagai penerapan dari paham Tri Murti.
3. Pada tiap-tiap pekarangan rumah harus didirikan bangunan suci yang disebut Sanggah atau Merajan.
4. Semua tanah-tanah pekarangan dan tanah-tanah yang terletak disekitar Desa Adat yang berarti termasuk tanah-tanah Kahyangan Tiga adalah milik Desa Adat yang berarti pula milik Kahyangan Tiga dan tanah-tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan.
5. Nama Agama ketika itu adalah Agama Ciwa Budha.
Lokasi penelitian adalah desa pakraman tepatnya Desa Panglipuran yang terletak di Kabupaten Bangli, Bali. Penulis ingin mengkaji penerapan hak atas tanah di lokasi penelitian. Setiap desa pakraman memiliki aturannya sendiri, berbeda dengan desa pakraman lain karena desa pakraman bersifat otonom. Aturan tersebut dinamakan awig-awig (dulunya tidak tertulis,namun sekarang mulai ditulis dikarenakan keterbatasan ingatan manusia) berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum nasional. Maka dapat diambil judulPENERAPAN HAK ATAS TANAH DI BALI (Studi Kasus Desa Panglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali)”.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah deskripsi desa panglipuran? Dan apa sajakah jenis dan fungsi tanah adat di Bali?
2.    Bagaimanakah eksistensi tanah PKD dan AYDS menurut hukum adat Bali?
3.    Bagaimanakah keadaan tanah adat setelah berlakunya UU no 5 tahun 1960?

C.  Tujuan Penulisan
1.    Menjelaskan gambaran desa Panglipuran serta jenis dan fungsi tanah adat di Bali.
2.    Menjelaskan eksistensi tanah PKD dan AYDS menurut hukum adat Bali.
3.    Menjelaskan keadaan tanah adat setelah berlakunya UU no 5 tahun 1960.

D.  Manfaat Penulisan
  1. Penulis mendapatkan banyak tambahan wawasan dan pengetahuan.
  2. Pembaca akan mendapatkan informasi lebih mengenai:
-       Gambaran desa paglipuran beserta jenis dan fungsi tanah adat di Bali.
-       Eksistensi tanah PKD dan AYDS menurut hukum adat Bali
-       Keadaan tanah adat setelah berlakunya UU no 5 tahun 1960.

E.  Lokasi Penelitian
Tempat       :.Desa Panglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli,  ,.Kabupaten Bangli, Provinsi Bali
Waktu         : 6 – 11 Oktober 2012


















BAB II
PEMBAHASAN

A.  GAMBARAN DESA PANGLIPURAN
Desa Tradisional Penglipuran
 
Desa Adat Penglipuran yang merupakan salah satu Lingkungan dari Kelurahan Kubu penduduknya sebagian besar berasal dari Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Pada Jaman Kerajaan penduduk desa Bayung Gede sering ditugaskan oleh Raja Bangli untuk ikut berperang dan ikut dalam kegiatan lainnya di kerajaan. Karana Lokasi Desa Bayung Gede sangat jauh dari pusat kerajaan Bangli maka oleh raja diberikan tempat persinggahan dilokasi Desa Adat Penglipuran yang sekarang ini ditempati, sehingga raja lebih mudah berkomunikasi dengan penduduk Bayung Gede yang dibutuhkan oleh Raja setiap kegiatan di kerajaan.
Desa Adat Penglipuran semula dalam prasasti disebut Kubu Bayung  “Pondok Bayung Gede “ Lama-kelamaan penduduk pondok ini membangun desa adat yang dilengkapi dengan Tri Kayangan dan pura lainnya (Dang Khayangan) di bangun mirip dengan yang ada di Desa Bayung Gede. Oleh masyarakat hal ini dimaksudkan untuk mengingat pura yang ada di desa Bayung Gede (Ngelingin Pura yang ada di Bayung Gede )  dan Secara etomologi Penglipuran  mempunyai dua makna yaitu pertama berasal dari kata “pengeling pura” yang berarti masyarakat Penglipuran harus ingat kepada tanah leluhurnya yang berasal dari Bayung Gede sehingga konsep pura khayangan desa adat dan bangunan lainnya, menyerupai bangunan yang ada di Bayung Gede. Dan kedua,  Penglipuran juga mempunyai arti sebagai tempat hiburan (Penglipur) bagi raja-raja di Bangli, dan sampai saat ini Penglipuran merupakan salah satu obyek Wisata di Kabupaten Bangli.
Batas wilayah desa Panglipuran :

Utara          : Desa Adat Kayang
Selatan        : Desa Adat Cempaga
Barat           : Desa Ada Cekeng
Timur          : Desa Adat Kubu


JENIS DAN FUNGSI TANAH ADAT BALI
Setelah keluarnya UUPA, maka dalam ketentuan konversinya(pasal II, VI, VII) ditemukan hak-hak atas tanah sebagai berikut: hak agrarisch eigendom, milik, yasan andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landerijen bezitsrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas tanah-tanah partikelir, hak vructgebruik, gebruik, grant controleur, bruklen, ganggam bauntuik, ang gaduh, bengkok, lungguh, pituas, hak gogolan, pekulen/sanggau. Baru kemudian setelah keluarnya peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 ditambah dengan Surat Keputusan Menteri dalam Negeri No. SK26/DDA/1970 dipastikan bahwa hak-hak tanah sebagaimana diatur oleh ketentuan konversi pasal II, VI, Vii dari UUPA adalah hak-hak Indonesia atas tanah.
Di depan telah disinggung bahwa sebelum keluarnya UUPA yang disebut tanah-tanah adat/tanah-tanah Indonesia adalah tanah-tanah yang tunduk dan diatur oleh hukum adat. Ternyata konsepsi ini masih diikuti dalam UUPA, sehingga batasan Tanah adat menurut UUPA lebih dari batasan tanah adat menurut hukum adat.
Tanah adat Bali sesuai dengan ketentuan konvensi dari UUPA tercantum dalam pasal II dengan sebutan “tanah hak atas Druwe” atau “tanah hak atas Druwe desa”. Namun di Bali tanah-tanah adat lebih dikenal dengan nama “tanah druwe desa” yang artinya tanah-tanah kepunyaan desa adat.
Tanah Druwe Desa terdiri dari:
1.    Tanah Desa yaitu tanah yang dipunyai atau dikuasi oleh Desa Adat yang bisa didapat melalui usaha-usaha pembelian ataupun usaha lainnya. Kalau tanah desa ini berupa tanah pertanian ( sawah, ladang ) akan digarap oleh krama desa ( anggota desa ) dan penggarapannya diatur dengan membagi-bagikan secara perorangan maupun secara kelompok yang kemudian hasilnya diserahkan oleh penggarap kepada desa adat. Selain itu yang termasuk tanah adalah: Tanah pasar, tanah lapang, tanah kuburan, tanah bukti (tanah-tanah yang diberikan kepada pejabat/pengurus Desa Adat selama memegang jabatan.)
2.    Tanah Laba Pura, adalah tanah-tanah yang kebanyakan dulunya milik desa (dikuasai oleh desa) yang khusus dipergunakan untuk keperluan Pura. Tanah Laba Pura ini ada 2 macam yaitu:
-       Tanah yang khusus untuk tempat bangunan Pura
-       Tanah yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan Pura
3.    Tanah Pekarangan Desa atau tanah PKD adalah merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada karma Desa untuk tempat mendirikan perumahan yang lazimnya dalam ukuran luas tertentu dan hampir sama untuk tiap keluarga. Kewajiban yang melekat ( yang lebih dikenal dengan “ayahan”) pada karma Desa  yang menempati tanah ialah adanya beban berupa tenaga atau materi yang diberikan kepada Desa Adat.
4.    Tanah Ayahan Desa atau Tanah AYDS adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasaai atau dimiliki oleh desa yang penggarapannya diserahkan pada masing-masing Krama Desa disertai hak untuk menikmati hasil yang disertai kewajiban ayahannya.
Disamping tanah-tanah adat tersebut diatas, dikenal juga tanah-tanah pribadi atau tanah-tanah bebas yang merupakan tanah-tanah milik perseorangan yang bebas dari kewajiban “ayah”. Demikian dalam praktek sehari-hari tidak pernah tanah-tanah bebas ini disebut sebagai tanah adat.
Untuk tanah AYDS dan tanah PKD secara bersama-sama sering disebut “tanah ayah” saja. Ini artinya tanah yang diatasnya berisi beban berupa ayahan. Tanah ayah ini dapat diwariskan, dan jika ingin menjual harus dengan persetujuan Desa Adat demikian juga kalau mau melakukan transaksi-transaksi tanah lainnya, harus tetap seijin dari Desa Adat.
Pemanfaatan tanah adat yang dimilik desa pakraman menimbulkan tiga bentuk fungsi dari tanah tersebut yaitu berfungsi ekonomi, berfungsi sosial, dan berfungsi keagamaan. Sebagai fungsi keagamaan, krama desa memiliki kewajiban ngayahang yang berupa tenaga, yaitu menyediakan dirinya untuk ngayah atau berkorban ke desa pakraman dan ngayah ke Pura / Kahyanagan Desa seperti gotong royong membersihkan pura, memperbaiki pura hingga menyelenggarakan upacara keagamaan di dalamnya dan material, yaitu menyediakan uang atau materi lainnya demi kepentingan desa pakraman dan Kahyangan Desa.
TANAH ADAT DI DESA PANGLIPURAN
Tanah adat di panglipuran berupa: 45 hektar hutan bambu, 50 hektar tegalan (ladang), 9 hektar pemukiman terdiri dari 76 kaplingan, sisa untuk tempat umum seperti bale banjar, sekolah, dsb. Pengelola tanah adat dilakukan masyarakat adat sendiri, dimana tidak punya hak milik atas tanah tapi punya hak pakai dan memelihara. Dan diberi kewajiban untuk keperluan adat berupa iuran pembangunan pura, iuran bulan purnama, dsb.
Tanah Ayahan Desa atau AYDS, adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh desa yang penggarapannya diserahkan pada masing-masing krama Desa disertai hak untuk menikmati hasil yang disertai kewajiban ayahannya. Kewajiban seperti menjaga pura, bila pura ada acara, maka yang mempunyai hak pakai ikut membantu terselenggaranya acara di pura tersebut. Tanah adat panglipuran bisa diperjual belikan kepihak luar, karena bersatatus AYDS dengan persetujuan bersama.
 Tanah laba pura adalah tanah-tanah yang kebanyakan dulunya milik desa (dikuasai oleh desa) yang khusus digunakan untuk keperluan pura. Di panglipuran, laba pura terdapat diberbagai lokasi, salah satunya ada hutan bambu sebagian berstatus laba pura, dusun buungan desa tiga 8 ha (lahan kering), sidombunut (sawah), sawah cekeng. Tanah laba pura tersebut bisa diurus warga luar, ada pula yangg diurus warga sendiri
Pewarisan bersifat kolektif, bila ingin menjual warisan harus mendapat persetujuan bersama ahli waris. Sertifikat tanah di desa panglipuran berupa petok D atas nama leluhur, petok D dipegang oleh anak tertua. Sertifikat tanah di panglipuran berupa hak guna pakai, bukan hak milik. Dan tidak boleh menjual tanah kepada warga nonpanglipuran. Semua tanah terkena pajak kecuali tanah Pekarangan Desa dan laba pura.
Keberadaan desa pakraman tidak terlepas dari segala syarat keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat. Dalam setiap desa pakraman di Bali, dapat dilihat tiga syarat adanya hak ulayat dalam masyarakat hukum adat.
1.    Ada kelompok orang yang masih terikat oleh hukum adatnya. Dalam desa pakraman, semua warga desa adat terikat oleh awig-awig yang ditetapkan secara bersama. Aturan-aturan ini sebagian besar tidak tertulis, tetapi dipahami serta dipatuhi oleh warga desa adat. Namun sekarang mulai ditulis dikarenakan terbatasnya ingatan manusia.
2.    Terdapat tanah ulayatnya, dan dalam desa pakraman yang memiliki kesatuan wilayah dengan desa dinas, terdapat seluas tanah yang dikuasai oleh desa pakraman tersebut guna keperluan bersama warga desanya.
3.    Terdapat tatanan hukum adatnya  segala pengurusan, penguasaan, dan pembagian tanah adat yang ada di masing-masing desa pakraman diatur oleh kelihan desa dengan mengacu dan dapat dipertanggung-jawabkan dalam paruman desa. Dapat dikatakan bahwasannya segala hasil paruman desa yang dihadiri karma desa merupakan tatanan hukum yang digunakan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari uraian di atas, terlihat bahwasannya dalam desa pakraman ketiga syarat hak ulayat tersebut dipenuhi. Hak ulayat masih ada dalam desa pakraman.

B.  EKSISTENSI TANAH PKD DAN AYDS MENURUT HUKUM ADAT BALI
Berdasarkan Prasasti Bali Kuna, kelompok orang yang beragama Hindu yang diikat oleh Sima (dresta) disebut “Karaman”. Wilayah dimana karaman berada dan berkuasa disebut “Thani atau “wanua” sehingga untuk orang yang tinggal dalam suatu thani atau wanua disebut “Anak Thani” (Tanayan Thani), “anak wanua”.dalam setiap Thani atau Wanua terdapat “Kahyangan” (Pura) sebagai tempat pemujaan karaman dan sekaligus sebagai tali pengikat sebuah karaman. Demi untuk kepentingan komunitas karaman, dan keajegan kahyangan serta kepentingan, ekonomis anggota karaman, maka tanah-tanah yang berada diwilayahnya dibagi-bagikan kepada anggota karaman yang sudah membentuk “kurn” (keluarga). Lambat laun karaman dan Thaninya disebut Desa, kemudian Desa Karaman atau Desa Pakraman, dan sampai akhirnya disebut Desa Adat. Tanah Pekarangan yang ditempati oleh masing-masing anggota karaman menjadi tanah Pekarangan Desa (Tanah PKD) dan tanah-tanah tegalan atau sawah yang menghasilkan disebut tanah ayahan Desa (AYDS). Baik tanah PKD maupun AYDS adalah merupakan “Beschikkings gebied” (wilayah kekuasaan) dari Desa Adat. Dasar penguasaan ini adalah “hak ulayat” yakni hak dari persekutuan Desa adat atas tanah yang didiami.
Pada awalnya anggota Dasa hanya mempunyai hak menggunakan (genotsrecht). Tetapi kenyataannya kemudian tanah-tanah tersebut dapat dikuasai sepenuhnya (beschikken) maka muncullah hak penguasaan atas tanah 9beschikkingsrecht). Berdasarkan asas hukum (legal principle) bila hak menggunakan dan hak penguasaan bergabung maka itu tidak lain adalah hak milik (orang Belanda menyebutkan “Inlands bezitsrecht”.
Untuk tanah PKD dan AYDS ikatan adat tetap ada yakni berupa kewajiban public untuk desa dan atau pura. Kewajiban ini secara umum dikenal dengan istilah “ayahan”. Jadi ayahan inilah yang mengekang atau mengikat tanah-tanah ayah diatas. Sehingga tanah-tanah tersebut menjadi tanah hak milik terkekang (ingeklemd Inlands bezitsrecht).
Bagi tanah-tanah terkekang, menurut Bushar Muhammad, akan sangat tergantung dari kuat dan lemahnya hak penguasaan Desa (hak ulayat). Kalau hak ulayat kuat maka desa akan mengklaim bahwa tanah itu milik desa. Demikian sebaliknya bila hak ulayat lemah maka tanah-tanah akan menjadi milik anggota (karma) desa Adat.
Dari penilitian yang pernah dilakukan ada sebagian desa (terutama desa-desa Bali Age) masih mempertahankan hak ulayat desa. Begitu juga sebagian besar desa (terutama bali Dataran) tidak mempersoalkan pemilikan tanah, tetapi lebih menuntut pelaksanaan ayahan saja ini membuktikan bahwa ulayat semakin melemah.
Kekuatan hak ulayat terhadap tanah-tanah Adat di Bali adalah melekat pada fungsi tanah adat yang meliputi: a) Fungsi Keagamaan, b) Fungsi Sosial, c) Fungsi Ekonomis. Pelaksanaan fungsi sosio-religius dari tanah-tanah adat tersebut, kemudian diwujudkan dalam pelaksanaan ayahan ang sekaligus merupakan Yadnya.

C.  TANAH ADAT SETELAH BERLAKUNYA UU NO 5 TAHUN 1960
Berdasarkan bunyi pasal II ketentuan konversi dari UUPA (UU no 5 tahun 1960), kiranya sudah jelas bahwa bagi tanah-tanah adat yang ada di Bali akan dikonversi menjadi hak milik. Dikecualikan jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh pasal 21 UUPA.
Kalau memperhatikan jenis-jenis tanah adat yang ada di Bali sebagaimana tergambar di depan, maka ada tiga subyek hak yang dapat melakukan permohonan konversi, yaitu:
1.    Desa Adat
Kalau yang mengajukan permohonan konversi DesaAdat, maka perlu dilihat apakah desa adat itu sudah memenuhi syarat sebagai subyek hak. Menurut pasal 1 dari Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 mengatur mengenai penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah sebagi berikut:
a.    Bank-bank yang didirikan oleh Negara
b.    Perkumpulan-perkumpulan koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan UU no 79 th 1958
c.    Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agrarian setelah mendengar menteri kesejahteaan sosial.
Dari ketentuan ini nampaklah bahwa desa adat belum ditunjuk sebagi subyek hak yang dapat mempunayi hak milik atas tanah. Oleh karena itu status hak dari tanah desa belum jelas.
2.    Pura
Sesuai dengan surat keputusan Menteri dalam negeri no SK. 556/DJA/1986 tentang peunjukkan Pura sebagai Badan hukum Keagamaan yang dapat mempunyai Hak milik atas tanah memutuskan:
-       Menunjuk Pura sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah
-       Menegaskan bahwa tanah-tanah palemahan yang merupakam kesatuan fungsi dengan Pura yang sudah dimiliki pada saat ditetapkannya surat keputusan ini, dikonversi sebagai hak milik.
Dari ketentuan ini Pura telah ditunjuk sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
3.    Krama Desa Adat (anggota desa)
Pasal 6 ayat 1 peraturan menteri Pertanian dan agrarian no. 2 th 1962 (ditambah dengan surat Keputusan Menteri dalam negeri no SK, 26/DDA/1970) menentukkan: Hak-hak yang disebutkan dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA ditegaskan dan didaftarkan menjadi:
a.    Hak milik, jika yang mempunyainya tanggal 24 september 1960 memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik.
b.    Hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA jika tidak yang mempunya pada tanggal 24 september 1960 tidak memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah perumahan.
c.    Hak guna usaha dalam jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA, jika tidka memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah pertanian.
Dari ketentuan tersebut untuk karma Desa Adat/perseorangan dapat mempunyai hak milik, setelah memenuhi syarat yakni: 1) Dapat memperlihatkan tanda bukti kewarganegaraan tunggal; 2) Dan tanda bukti hak atas tanah tersebut.
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
          Desa penglipuran merupakan salah satu desa yang berada di provinsi Bali,tepatnya yaitu berada di di kelurahan Kubu, Bangli, Bali. Selanjutnya hak-hak atas tanah di bali dibagi sebagai berikut: hak agrarisch eigendom, milik, yasan andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landerijen bezitsrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas tanah-tanah partikelir, hak vructgebruik, gebruik, grant controleur, bruklen, ganggam bauntuik, ang gaduh, bengkok, lungguh, pituas, hak gogolan, pekulen/sanggau. Baru kemudian setelah keluarnya peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 ditambah dengan Surat Keputusan Menteri dalam Negeri No. SK26/DDA/1970 dipastikan bahwa hak-hak tanah sebagaimana diatur oleh ketentuan konversi pasal II, VI, Vii dari UUPA adalah hak-hak Indonesia atas tanah.
          Di Bali tanah-tanah adat lebih dikenal dengan nama “tanah druwe desa” yang artinya tanah-tanah kepunyaan desa adat. Tanah Druwe Desa terdiri dari: Tanah Desa, tanah laba pura, tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa. Pemanfaatan tanah adat yang dimilik desa pakraman menimbulkan tiga bentuk fungsi dari tanah tersebut yaitu berfungsi ekonomi, berfungsi sosial, dan berfungsi keagamaan.
          Tanah adat di panglipuran berupa: 45 hektar hutan bambu, 50 hektar tegalan (ladang), 9 hektar pemukiman terdiri dari 76 kaplingan, sisa untuk tempat umum seperti bale banjar, sekolah, dsb yang pengelolaannya dilakukan sendiri oleh masyarakat setempat.
Dari penilitian yang pernah dilakukan ada sebagian desa (terutama desa-desa Bali Age) masih mempertahankan hak ulayat desa. Begitu juga sebagian besar desa (terutama bali Dataran) tidak mempersoalkan pemilikan tanah, tetapi lebih menuntut pelaksanaan ayahan saja ini membuktikan bahwa ulayat semakin melemah. Kekuatan hak ulayat terhadap tanah-tanah Adat di Bali adalah melekat pada fungsi tanah adat yang meliputi: a) Fungsi Keagamaan, b) Fungsi Sosial, c) Fungsi Ekonomis.
Terdapat  tiga subyek hak yang dapat melakukan permohonan konversi di bali, yaitu: desa adat (belum ditunjuk sebagi subyek hak yang dapat mempunayi hak milik atas tanah), pura (Pura telah ditunjuk sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah) dan krama desa (dapat mempunyai hak milik setelah memenuhi syarat)









DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi. 1981. Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.
Muhammad, Bushar. 1983. Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Rimbawa, Made. 2007. Komunikasi Personal, Kelihan Desa Adat Madya Buleleng, Bali.
Sanusi, Achmad. 2002. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: Tarsit.
Suandi. 2007 Komunikasi Personal, Kelihan Desa Pakraman Banyuasri, Buleleng, Bali.
Suasthawa, M. 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA. Denpasar : CV.Kayumas Agung
Wiguna, I Gusti Ngurah Tara. 2009. Hak-hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuna Abad X dan XI Masehi. Denpasar: Udayana University Press.
Website:
http://id.wikipedia.org (diakses 18 Oktober 2012)
Peraturan Perundangan:
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)

ATURAN LARANGAN MENELANTARKAN TANAH

Undang - Undang No. 5 / 1960 ( Agraria / UUPA ) mengingatkan kita semua, terutama para Pemegang hak, untuk tidak menelantarkan tanahnya secara sengaja. Keseriusan UUPA melarang adanya tindakan penelantaran tanah, nampak pada ancaman berupa sanksi yang akan diberikan, yaitu : “Hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan, Pemutusan hubungan hukum antara Tanah dan Pemilik, dan tanahnya akan ditegaskan sebagai Tanah Negara (Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara ), sebagaimana dalam Pasal 27, 34 dan 40 UUPA”.
Pasal 27.
Hak milik hapus bila:
a. tanahnya jatuh kepada negara,
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan -pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
b. tanahnya musnah.

Pasal 34.
Hak guna-usaha hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

Pasal 40.
Hak guna-bangunan hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).

Definisi mengenai Tanah Terlantar terdapat dalam Penjelasan Pasal 27 UUPA, yang menegaskan bahwa " Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya ". Namun sejak pengundangan UUPA, Pasal-pasal mengenai tanah terlantar ini tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan, sebab juklak pasal tersebut diatas belum diterbitkan, akibatnya larangan penelantaran tanah tidak efektif, sehingga tindakan penelantaran tanah semakin meluas dan tak terkontrol.
Kondisi ini menyadarkan Pemerintah untuk segera bertindak, maka pada Tahun 1998 ( kurang lebih 30 Tahun kemudian ), Pemerintah menerbitkan juklak tata cara penyelesaian Tanah Terlantar melalui Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 36 / 1998, akan tetapi dalam prakteknya penerapan PP ini kurang kondusif, sehingga berdasarkan tuntutan dinamika pembangunan, Pemerintah kembali meninjau dan membaharui PP No. 36 / 1998 dengan PP No. 11 / 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Selanjutnya, PP No. 11 / 2010 jo Peraturan Ka.BPN No. 4/2010 pada prinsipnya mengatur tata cara mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, melalui serangkaian tindakan.

Kesimpulan
1.    Akibat hukum terhadap pemilik Hak atas Tanah yang Diterlantarkan adalah secara yuridis, dilarang menelantarkan tanah sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban bagi pemegang hak atas tanah (Pasal 6, 7, 10, 15,19 UUPA) yang merupakan asas-asas yang ada dalam UUPA. Pelaksanaan hak yang tidak sesuai dengan tujuan haknya atau peruntukannya maka kepada pemegang hak akan diiatuhi sanksi yaitu hak atas tanah itu akan dibatalkan dan berakibat berakhirnya hak atas tanah. Selanjutnya secara sosiologis tanah sangat erat melekat dan dibutuhkan oleh rakyat, karena tanah menjadi sumber penghidupan mereka yaitu untuk tempat tinggal mereka, untuk tumbuh dan berkembangnya keluarga dan tanah dipakai untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, itu sebabnya menelantarkan tanah dilarang.
2.    Perlindungan hukum bagi pihak yang menguasai dan mengelola tanah terlantar adalah adanya sertifikat hak atas tanah pemiliknya akan terlindungi dari tindakan sewenang-wenang dari pihak lain, serta mencegah sengketa kepemilikan tanah. Dengan kata lain bahwa dengan terdaftarnya hak kepemilikan atas tanah seseorang warga masyarakat maupun badan hukum oleh negara dan dengan diterbitkan tanda bukti kepemilikan berupa sertipikat hak atas tanah, negara akan memberikan jaminan keamanan terhadap pemilikan tanah serta agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya terhadap tanah-tanah yang belum didaftarkan maka negara tidak menjamin kepastian hukum dan haknya bagi pemilik atau yang menguasainya.
3.    Upaya penanggulangan penguasaan atau pemilikan tanah yang diterlantarkan sangat berkaitan erat dengan kebijakan pertanahan yang ada. Penerapan norma dalam pelaksanaannya identik dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Timbulnya hak dan kewajiban karena hubungan hukum (keperdataan) antara subyek dengan obyeknya (tanah). Tentu saja dalam melaksanakan kewajiban seorang subyek pemegang hak atas tanah harus dilandasi oleh itikad baik (te goede trouw). Dalam pelaksanaan kewajiban pemegang hak atas tanah, itikad baik memegang peranan yang sangat penting guna terwujudnya pengelolaan pertanahan yang memberi kesejahteraan pada masyarakat. Jadi upaya penertiban tanah terlantar, penanganannya lebih kearah pendayagunaan tanah dengan memberikan solusi-solusi penyelesaian yang lebih manusiawi,
meskipun tidak kehilangan efektifitasnya.




0 komentar:

Posting Komentar