BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan
modal dasar dalam kehidupan baik oleh individu, kelompok maupun negara. Dalam usaha
memenuhi kebutuhan kehidupan dari masing-masing individu maupun kelompok
tersebut tanah berfungsi sebagai tempat tinggal maupun sebagai lahan pertanian
dan perkebunan.
Sebagai negara agraris, tanah merupakan lahan
penghidupan bagi tiap-tiap orang untuk mencapai kemakmuran di berbagai bidang.
Selain itu tanah juga merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu bangsa dan
manfaatnya harus dapat diusahakan dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan perkembangan
zaman pesatnya proses pembangunan di Indonesia bukan saja memaksa harga tanah
di berbagai tempat akan naik, tetapi juga telah menciptakan fenomena tanah
sebagai “komoditi ekonomi” yang mempunyai nilai sangat tinggi, sehingga besar
kemungkinan laju pertumbuhan pembangunan di Indonesia akan mengalami hambatan.
Sebelum tahun 1960, yakni sebelum
berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok pokok Agraria (
yang lebih popular dengan sebutan UUPA). Di Negara kita masih berlaku dua macam
hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan yaitu hukum adat dan hukum
barata (K. Wancik Saleh, 1982:8). Sehingga ada dua macam tanah, yaitu “tanah
adat” atau bisa disebut “tanah Indonesia”, yaitu tanah-tanah dengan hak-hak
Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum (agraria) adat, sepanjang tidak
diadakan ketentuan khusus untuk hak-hak tertentu. Misalnya untuk hak agrarische
eigendom berlaku ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam staatblaad 1872 No. 117.
Hampir semua tanah-tanah adat tidak
terdaftar seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah bengkok, tanah
grogol dan lain-lainnya. Sedangkan tanah-tanah seperti, tanah grant, agrarische
eigendom, tanah-tanah milik didalam kota Yogyakarta dan Surakarta serta
tanah-tanah milik yang di daerah-daerah lainnya di Jawa, Bali, Madura, Lombok,
Sulawesi telah terdaftar di kantor Landrente untuk keperluan pajak bumi. Jadi
pendaftaran ini bersifat “fiscal kadaster”. Sedang yang dimaksudkan dengan
pendaftaran tanah yang diadakan untuk memberikan kepastian hak dan kepastian
hukum “rechtskadaster”.
Dilain pihak tanah-tanah barat atau
tanah-tanah barat atau tanah-tanah Eropa, dapat dikatakan hamper semuanya
terdaftar pada kantor Pendaftaran Tanah menurut “Overschrijvings ordonantie”
atau Ordonansi Balik Nama (Stb. 1834 no. 27). Tanah-tanah barat ini tunduk pada
ketentuan-ketentuan hukum agrarian Barat, misalnya mengenai memperolehnya,
peralihannya, lenyapnya, pembebanannya dengan hak-hak lain dari
wewenag-wewenang serta kewajiban-kewajiban yang mempunyai hak itu. Tanah-tanah
Barat ini tidak sebanyak tanah-tanah Indonesia, tanah-tanah itu seakan-akan
merupakan pulau-pulau ditengah-tengah lautan Indonesia (Boedi Harsono,
1970:40).
Untuk menyebutkan istilah tanah adat
dalam tata perundang-undangan Hindia Belanda dahulu mempergunakan kata-kata
seperti (pasal 62 RR/51 IS)
- Gronden
door de Inlanders ontogonnen (=tanah sudah digarap oleh bangsa Indonesia)
- Gronden
als gemeene weide of uit enigenanderen hoofed tot de dorpen of dessa’s
behoorende (=tanah yang termasuk kepunyaan desa baik sebagai tanah pengembalaan
bersama maupun dengan sifat lain).
- Gronden
door Inlanders in erfelijk individueel gebruik bezitten (=tanah yang dipunyai
oleh bangsa Indonesia dengan hak milik)
- Gronden
door Inlanders voor eigen gebruik ontgonnen (=tanah yang digarap oleh bangsa
Indonesia untuk keperluan sendiri). (Iman
Sudiyat, 1981:6)
Dari istilah-istilah yang diberikan oleh
peraturan Hindia Belanda tersebut maka tanah-tanah adat mencakup:
1. Tanah
hak ulayat
2. Tanah
hak ulayat yang dikuasai oleh rakyat
3. Tanah
yang sudah lepas dari
genggaman hak ulayat
Menurut hukum adat, dilihat dari campur
tangan hak-hak persekutuan atas tanah,
maka hak-hak atas tanah dibedakan
menjadi:
1. Hak
ulayat persekutuan atas tanah (baschikikingsrecht)
2. Hak
perorangan terkekang atas tanah (ingelkemd inlands bezitsrecht)
3. Hak
milik perorangan bebas (inlands bezitsrecht)
Jadi hak milik hukum adat yang termasuk
tanah-tanah adat adalah tanah-tanah hak ulayat persekutuan dan tanah-tanah hak
perorangan terkekakang. Sedangkan hak milik perorangan bebas tidak disebut
sebagai tanah adat. Sampai batas ini maka tanah-tanah adat dapat diberi
batasan, tanah-tanah yang bukan milik perorangan, tetapi milik kaum, suku, desa
dan sebagainya, dan tidak seorang pun bisa mendakwakan bahwa tanah itu milik
pribadinya dan tetap dibawah persangkut pautan (campur tangan) hak ulayat
persekutuan (Bdk Mochtar Naim, 1977:5).
Konsep komunal religius merupakan salah
satu hasil penuangan hukum adat sebagai bahan utama dalam pembentukan UUPA, di
samping asas-asas, dan lembaga hukum serta sistem pengaturan yang menjadi
isi politik Hukum Tanah Nasional. Dalam hukum adat mengenai tanah, konsep
komunal religius mengandung makna, bahwa tanah ulayat diyakini sebagai anugerah
dari kekuatan gaib dan sebagai milik bersama. Hak milik pribadi hanya berlaku
dalam pengertian hak memperoleh dan mengurus atau mengelolanya. Konsep ini
kemudian diimplementasikan dalam UUPA dengan bentuk penguasaan tanah secara
individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung
unsur kebersamaan (Pasal 16 jo Pasal 20, Pasal 6 UUPA). Jadi regulasinya
direfleksikan untuk lebih diarahkan pada pendaftaran hak perorangan atas tanah.
Dampaknya status “ayahan” yang awalnya melekat pada tanah-tanah adat yang
dikuasai secara individu akan hilang karena tanah tersebut telah didaftarkan
melalui konversi.
Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang
terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk
agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan
keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal
dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau
Seribu Pura. Karakteristik daerah Bali sangat tampak dari kehidupan
Agama Hindu, adat, dan budaya yang menyatu padu dalam suasana harmonis dengan
tidaklah terlepas dari peran serta seluruh komponen serta warisan suatu prinsip
kesatuan masyarakat yang ada jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu Desa Adat.
Sejak
jaman Bali Kuna yaitu sekitar abad 9, masyarakat Bali yang disebut kraman telah
mengenal desa dengan sebutan desa atau desa pakraman. Menurut
Liefrinck, 1886, desa di Bali merupakan republik kecil yang memiliki hukum atau
aturan budaya adatnya sendiri dengan susunan pemerintahannya bersifat
demokratis dan memiliki otonomi. Sejarah desa pakraman dapat dilihat di dalam
lontar Markandya Purana yang menceritakan perjalanan Maharsi Markandya dari
Jawa Timur ke Pulau Bali. Dengan masuknya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda
ke Bali Selatan (1906-1908) muncullah dua desa yaitu desa lama (Desa Pakraman)
dan desa baru (Desa Dinas bentukan Belanda).
Sejarah tanah adat di Bali
tidak terlepas dari sejarah desa pakraman yang diawali dari perjalan Rsi
Markandya membagikan tanah kepada para pengikutnya. Setelah masa Yogi
Markandya, munculah kerajaan Mayadanawa (959-974M) hingga kepemerintahan Raja
Udayana Warmadewa dan istrinya Gunapriya Dharmapatmi pada tahun 988-1011M. Pada
saat itu berlangsung suatu Pesamuan Agung dimana dicetusakanlah suatu paham
Tri Murti dan lahirlah lima keputusan pokok yaitu :
1. Paham Tri Murti dijadikan
dasar keagamaan
2. Pada setiap Desa Adat harus
didirikan Kahyangan Tiga sebagai penerapan dari paham Tri Murti.
3. Pada tiap-tiap pekarangan
rumah harus didirikan bangunan suci yang disebut Sanggah atau Merajan.
4. Semua tanah-tanah
pekarangan dan tanah-tanah yang terletak disekitar Desa Adat yang berarti
termasuk tanah-tanah Kahyangan Tiga adalah milik Desa Adat yang berarti pula
milik Kahyangan Tiga dan tanah-tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan.
5. Nama Agama ketika itu
adalah Agama Ciwa Budha.
Lokasi penelitian adalah desa pakraman
tepatnya Desa Panglipuran yang terletak di Kabupaten Bangli, Bali. Penulis ingin
mengkaji penerapan hak atas tanah di lokasi penelitian. Setiap desa pakraman
memiliki aturannya sendiri, berbeda dengan desa pakraman lain karena desa
pakraman bersifat otonom. Aturan tersebut dinamakan awig-awig (dulunya tidak
tertulis,namun sekarang mulai ditulis dikarenakan keterbatasan ingatan manusia)
berlaku selama tidak bertentangan dengan hukum nasional. Maka dapat diambil
judul
“PENERAPAN HAK ATAS TANAH DI BALI
(Studi Kasus Desa Panglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten
Bangli, Provinsi Bali)”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
deskripsi desa panglipuran? Dan apa sajakah jenis dan fungsi tanah adat di
Bali?
2. Bagaimanakah
eksistensi tanah PKD dan AYDS menurut hukum adat Bali?
3. Bagaimanakah
keadaan tanah adat setelah berlakunya UU no 5 tahun 1960?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan
gambaran desa Panglipuran serta jenis dan fungsi tanah adat di Bali.
2. Menjelaskan
eksistensi tanah PKD dan AYDS menurut hukum adat Bali.
3. Menjelaskan
keadaan tanah adat setelah berlakunya UU no 5 tahun 1960.
D. Manfaat Penulisan
- Penulis mendapatkan banyak tambahan wawasan dan pengetahuan.
- Pembaca akan mendapatkan informasi lebih mengenai:
- Gambaran
desa paglipuran beserta jenis dan fungsi tanah adat di Bali.
- Eksistensi
tanah PKD dan AYDS menurut hukum adat Bali
- Keadaan
tanah adat setelah berlakunya UU no 5 tahun 1960.
E. Lokasi Penelitian
Tempat :.Desa Panglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, ,.Kabupaten
Bangli, Provinsi Bali
Waktu : 6 – 11 Oktober 2012
BAB
II
PEMBAHASAN
A. GAMBARAN DESA PANGLIPURAN
|
Desa Adat Penglipuran semula dalam
prasasti disebut Kubu Bayung “Pondok
Bayung Gede “ Lama-kelamaan penduduk pondok ini membangun desa adat yang
dilengkapi dengan Tri Kayangan dan pura lainnya (Dang Khayangan) di bangun
mirip dengan yang ada di Desa Bayung Gede. Oleh masyarakat hal ini dimaksudkan
untuk mengingat pura yang ada di desa Bayung Gede (Ngelingin Pura yang ada di
Bayung Gede ) dan Secara etomologi
Penglipuran mempunyai dua makna yaitu pertama
berasal dari kata “pengeling pura” yang berarti masyarakat Penglipuran harus
ingat kepada tanah leluhurnya yang berasal dari Bayung Gede sehingga konsep
pura khayangan desa adat dan bangunan lainnya, menyerupai bangunan yang ada di
Bayung Gede. Dan kedua, Penglipuran juga
mempunyai arti sebagai tempat hiburan (Penglipur) bagi raja-raja di Bangli, dan
sampai saat ini Penglipuran merupakan salah satu obyek Wisata di Kabupaten
Bangli.
Batas wilayah desa Panglipuran :
Utara : Desa Adat Kayang
Selatan : Desa Adat Cempaga
Barat : Desa Ada Cekeng
Timur : Desa Adat Kubu
JENIS DAN FUNGSI TANAH ADAT BALI
Setelah keluarnya UUPA,
maka dalam ketentuan konversinya(pasal II, VI, VII) ditemukan hak-hak atas tanah sebagai berikut: hak
agrarisch eigendom, milik, yasan andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa,
pesini, grant sultan, landerijen bezitsrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha
atas tanah-tanah partikelir, hak vructgebruik, gebruik, grant controleur,
bruklen, ganggam bauntuik, ang gaduh, bengkok, lungguh, pituas, hak gogolan,
pekulen/sanggau. Baru kemudian setelah keluarnya peraturan Menteri Pertanian
dan Agraria No. 2 tahun 1962 ditambah dengan Surat Keputusan Menteri dalam
Negeri No. SK26/DDA/1970 dipastikan bahwa hak-hak tanah sebagaimana diatur oleh
ketentuan konversi pasal II, VI, Vii dari UUPA adalah hak-hak Indonesia atas
tanah.
Di depan telah
disinggung bahwa sebelum keluarnya UUPA yang disebut tanah-tanah
adat/tanah-tanah Indonesia adalah tanah-tanah yang tunduk dan diatur oleh hukum
adat. Ternyata konsepsi ini masih diikuti dalam UUPA, sehingga batasan Tanah
adat menurut UUPA lebih dari batasan tanah adat menurut hukum adat.
Tanah adat Bali sesuai
dengan ketentuan konvensi dari UUPA tercantum dalam pasal II dengan sebutan
“tanah hak atas Druwe” atau “tanah hak atas Druwe desa”. Namun di Bali
tanah-tanah adat lebih dikenal dengan nama “tanah druwe desa” yang artinya
tanah-tanah kepunyaan desa adat.
Tanah Druwe Desa
terdiri dari:
1.
Tanah
Desa yaitu tanah yang dipunyai atau dikuasi
oleh Desa Adat yang bisa didapat melalui usaha-usaha pembelian ataupun usaha
lainnya. Kalau
tanah desa ini berupa tanah pertanian ( sawah, ladang ) akan digarap oleh
krama desa ( anggota desa
) dan penggarapannya diatur dengan membagi-bagikan secara perorangan maupun secara
kelompok yang kemudian hasilnya diserahkan oleh penggarap kepada desa adat. Selain itu yang
termasuk tanah adalah: Tanah
pasar, tanah lapang, tanah kuburan, tanah bukti (tanah-tanah yang diberikan
kepada pejabat/pengurus Desa Adat selama memegang jabatan.)
2.
Tanah
Laba Pura, adalah tanah-tanah yang kebanyakan
dulunya milik desa (dikuasai oleh desa) yang khusus dipergunakan untuk
keperluan Pura. Tanah Laba Pura ini ada 2 macam yaitu:
- Tanah
yang khusus untuk tempat bangunan Pura
- Tanah
yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan Pura
3.
Tanah
Pekarangan Desa
atau tanah PKD adalah merupakan tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan
kepada karma Desa untuk tempat mendirikan perumahan yang lazimnya dalam ukuran
luas tertentu dan hampir
sama untuk tiap keluarga. Kewajiban yang melekat ( yang lebih dikenal dengan
“ayahan”) pada karma Desa yang menempati
tanah ialah adanya beban berupa tenaga atau materi yang diberikan kepada Desa
Adat.
4.
Tanah
Ayahan Desa atau Tanah AYDS adalah merupakan
tanah-tanah yang dikuasaai atau dimiliki oleh desa yang penggarapannya
diserahkan pada masing-masing Krama Desa disertai hak untuk menikmati hasil
yang disertai kewajiban ayahannya.
Disamping tanah-tanah adat tersebut
diatas, dikenal juga tanah-tanah pribadi atau tanah-tanah bebas yang merupakan
tanah-tanah milik perseorangan yang bebas dari kewajiban “ayah”. Demikian dalam
praktek sehari-hari tidak pernah tanah-tanah bebas ini disebut sebagai tanah
adat.
Untuk tanah AYDS dan tanah PKD secara
bersama-sama sering disebut “tanah ayah” saja. Ini artinya tanah yang diatasnya
berisi beban berupa ayahan. Tanah ayah ini dapat diwariskan, dan jika ingin
menjual harus dengan persetujuan Desa Adat demikian juga kalau mau melakukan
transaksi-transaksi tanah lainnya, harus tetap seijin dari Desa Adat.
Pemanfaatan tanah adat yang dimilik desa
pakraman menimbulkan tiga bentuk fungsi dari tanah tersebut yaitu berfungsi
ekonomi, berfungsi sosial, dan berfungsi keagamaan. Sebagai fungsi keagamaan,
krama desa memiliki kewajiban ngayahang yang berupa tenaga, yaitu menyediakan
dirinya untuk ngayah atau berkorban ke desa pakraman dan ngayah ke Pura /
Kahyanagan Desa seperti gotong royong membersihkan pura, memperbaiki pura
hingga menyelenggarakan upacara keagamaan di dalamnya dan material, yaitu
menyediakan uang atau materi lainnya demi kepentingan desa pakraman dan
Kahyangan Desa.
TANAH ADAT DI DESA PANGLIPURAN
Tanah adat di panglipuran berupa: 45 hektar hutan
bambu, 50 hektar tegalan (ladang), 9 hektar pemukiman terdiri dari 76
kaplingan, sisa untuk tempat umum seperti bale banjar, sekolah, dsb. Pengelola tanah adat dilakukan
masyarakat adat sendiri, dimana tidak punya hak milik atas tanah tapi punya hak
pakai dan memelihara. Dan diberi kewajiban untuk keperluan adat berupa iuran
pembangunan pura, iuran bulan purnama, dsb.
Tanah Ayahan Desa atau AYDS, adalah merupakan
tanah-tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh desa yang penggarapannya
diserahkan pada masing-masing krama Desa disertai hak untuk menikmati hasil
yang disertai kewajiban ayahannya. Kewajiban seperti menjaga pura, bila pura
ada acara, maka yang mempunyai hak pakai ikut membantu terselenggaranya acara
di pura tersebut. Tanah adat panglipuran bisa diperjual belikan kepihak luar,
karena bersatatus AYDS dengan persetujuan bersama.
Tanah laba pura adalah tanah-tanah yang kebanyakan dulunya milik desa
(dikuasai oleh desa) yang khusus digunakan untuk keperluan pura. Di panglipuran,
laba pura terdapat diberbagai lokasi, salah satunya ada hutan bambu sebagian
berstatus laba pura, dusun buungan desa tiga 8 ha (lahan kering), sidombunut
(sawah), sawah cekeng. Tanah laba pura tersebut bisa diurus warga luar, ada
pula yangg diurus warga sendiri
Pewarisan bersifat kolektif, bila ingin menjual
warisan harus mendapat persetujuan bersama ahli waris. Sertifikat tanah di desa
panglipuran berupa petok D atas nama leluhur, petok D dipegang oleh anak tertua.
Sertifikat tanah di panglipuran berupa hak guna pakai, bukan hak milik. Dan tidak
boleh menjual tanah kepada warga nonpanglipuran. Semua tanah terkena pajak kecuali tanah Pekarangan Desa dan laba
pura.
Keberadaan desa pakraman tidak terlepas dari segala
syarat keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat. Dalam setiap desa
pakraman di Bali, dapat dilihat tiga syarat adanya hak ulayat dalam masyarakat
hukum adat.
1. Ada
kelompok orang yang masih terikat oleh hukum adatnya. Dalam desa pakraman,
semua warga desa adat terikat oleh awig-awig yang ditetapkan secara bersama.
Aturan-aturan ini sebagian besar tidak tertulis, tetapi dipahami serta dipatuhi
oleh warga desa adat. Namun sekarang mulai ditulis dikarenakan terbatasnya
ingatan manusia.
2. Terdapat
tanah ulayatnya, dan dalam desa pakraman yang memiliki kesatuan wilayah dengan
desa dinas, terdapat seluas tanah yang dikuasai oleh desa pakraman tersebut
guna keperluan bersama warga desanya.
3. Terdapat
tatanan hukum adatnya segala pengurusan,
penguasaan, dan pembagian tanah adat yang ada di masing-masing desa pakraman
diatur oleh kelihan desa dengan mengacu dan dapat dipertanggung-jawabkan dalam
paruman desa. Dapat dikatakan bahwasannya segala hasil paruman desa yang
dihadiri karma desa merupakan tatanan hukum yang digunakan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dari uraian di atas, terlihat bahwasannya dalam desa
pakraman ketiga syarat hak ulayat tersebut dipenuhi. Hak ulayat masih ada dalam
desa pakraman.
B. EKSISTENSI TANAH PKD DAN AYDS
MENURUT HUKUM ADAT BALI
Berdasarkan Prasasti Bali Kuna, kelompok
orang yang beragama Hindu yang diikat oleh Sima (dresta) disebut “Karaman”.
Wilayah dimana karaman berada dan berkuasa disebut “Thani atau “wanua” sehingga
untuk orang yang tinggal dalam suatu thani atau wanua disebut “Anak Thani”
(Tanayan Thani), “anak wanua”.dalam setiap Thani atau Wanua terdapat
“Kahyangan” (Pura) sebagai tempat pemujaan karaman dan sekaligus sebagai tali pengikat
sebuah karaman. Demi untuk kepentingan komunitas karaman, dan keajegan
kahyangan serta kepentingan, ekonomis anggota karaman, maka tanah-tanah yang
berada diwilayahnya dibagi-bagikan kepada anggota karaman yang sudah membentuk
“kurn” (keluarga). Lambat laun karaman dan Thaninya disebut Desa, kemudian Desa
Karaman atau Desa Pakraman, dan sampai akhirnya disebut Desa Adat. Tanah
Pekarangan yang ditempati oleh masing-masing anggota karaman menjadi tanah
Pekarangan Desa (Tanah PKD) dan tanah-tanah tegalan atau sawah yang
menghasilkan disebut tanah ayahan Desa (AYDS). Baik tanah PKD maupun AYDS
adalah merupakan “Beschikkings gebied” (wilayah kekuasaan) dari Desa Adat.
Dasar penguasaan ini adalah “hak ulayat” yakni hak dari persekutuan Desa adat
atas tanah yang didiami.
Pada awalnya anggota Dasa hanya
mempunyai hak menggunakan (genotsrecht). Tetapi kenyataannya kemudian
tanah-tanah tersebut dapat dikuasai sepenuhnya (beschikken) maka muncullah hak
penguasaan atas tanah 9beschikkingsrecht). Berdasarkan asas hukum (legal
principle) bila hak menggunakan dan hak penguasaan bergabung maka itu tidak
lain adalah hak milik (orang Belanda menyebutkan “Inlands bezitsrecht”.
Untuk tanah PKD dan AYDS ikatan adat
tetap ada yakni berupa kewajiban public untuk desa dan atau pura. Kewajiban ini
secara umum dikenal dengan istilah “ayahan”. Jadi ayahan inilah yang mengekang
atau mengikat tanah-tanah ayah diatas. Sehingga tanah-tanah tersebut menjadi
tanah hak milik terkekang (ingeklemd Inlands bezitsrecht).
Bagi tanah-tanah terkekang, menurut
Bushar Muhammad, akan sangat tergantung dari kuat dan lemahnya hak penguasaan
Desa (hak ulayat). Kalau hak ulayat kuat maka desa akan mengklaim bahwa tanah
itu milik desa. Demikian sebaliknya bila hak ulayat lemah maka tanah-tanah akan
menjadi milik anggota (karma) desa Adat.
Dari penilitian yang pernah dilakukan
ada sebagian desa (terutama desa-desa Bali Age) masih mempertahankan hak ulayat
desa. Begitu juga sebagian besar desa (terutama bali Dataran) tidak
mempersoalkan pemilikan tanah, tetapi lebih menuntut pelaksanaan ayahan saja
ini membuktikan bahwa ulayat semakin melemah.
Kekuatan hak ulayat terhadap tanah-tanah
Adat di Bali adalah melekat pada fungsi tanah adat yang meliputi: a) Fungsi
Keagamaan, b) Fungsi Sosial, c) Fungsi Ekonomis. Pelaksanaan fungsi
sosio-religius dari tanah-tanah adat tersebut, kemudian diwujudkan dalam
pelaksanaan ayahan ang sekaligus merupakan Yadnya.
C. TANAH ADAT SETELAH BERLAKUNYA UU NO
5 TAHUN 1960
Berdasarkan bunyi pasal II ketentuan
konversi dari UUPA (UU no 5 tahun 1960), kiranya sudah jelas bahwa bagi
tanah-tanah adat yang ada di Bali akan dikonversi menjadi hak milik.
Dikecualikan jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan
oleh pasal 21 UUPA.
Kalau memperhatikan jenis-jenis tanah
adat yang ada di Bali sebagaimana tergambar di depan, maka ada tiga subyek hak
yang dapat melakukan permohonan konversi, yaitu:
1.
Desa
Adat
Kalau yang mengajukan permohonan
konversi DesaAdat, maka perlu dilihat apakah desa adat itu sudah memenuhi
syarat sebagai subyek hak. Menurut pasal 1 dari Peraturan Pemerintah No. 38
tahun 1963 mengatur mengenai penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah sebagi berikut:
a. Bank-bank
yang didirikan oleh Negara
b. Perkumpulan-perkumpulan
koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan UU no 79 th 1958
c. Badan-badan
keagamaan yang ditunjuk oleh menteri pertanian/agrarian setelah mendengar
menteri kesejahteaan sosial.
Dari ketentuan ini nampaklah bahwa desa
adat belum ditunjuk sebagi subyek hak yang dapat mempunayi hak milik atas
tanah. Oleh karena itu status hak dari tanah desa belum jelas.
2.
Pura
Sesuai dengan surat keputusan Menteri
dalam negeri no SK. 556/DJA/1986 tentang peunjukkan Pura sebagai Badan hukum
Keagamaan yang dapat mempunyai Hak milik atas tanah memutuskan:
-
Menunjuk Pura sebagai
Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah
-
Menegaskan bahwa
tanah-tanah palemahan yang merupakam kesatuan fungsi dengan Pura yang sudah
dimiliki pada saat ditetapkannya surat keputusan ini, dikonversi sebagai hak
milik.
Dari ketentuan ini Pura telah ditunjuk
sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
3.
Krama
Desa Adat (anggota desa)
Pasal
6 ayat 1 peraturan menteri Pertanian dan agrarian no. 2 th 1962 (ditambah
dengan surat Keputusan Menteri dalam negeri no SK, 26/DDA/1970) menentukkan: Hak-hak yang disebutkan
dalam pasal II ketentuan-ketentuan konversi UUPA ditegaskan dan didaftarkan
menjadi:
a. Hak
milik, jika yang mempunyainya tanggal 24 september 1960 memenuhi syarat untuk
mempunyai hak milik.
b. Hak
guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA jika tidak
yang mempunya pada tanggal 24 september 1960 tidak memenuhi syarat untuk
mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah perumahan.
c. Hak
guna usaha dalam jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya UUPA, jika tidka
memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik dan tanahnya merupakan tanah
pertanian.
Dari ketentuan tersebut untuk karma Desa
Adat/perseorangan dapat mempunyai hak milik, setelah memenuhi syarat yakni: 1) Dapat
memperlihatkan tanda bukti kewarganegaraan tunggal; 2) Dan tanda bukti hak atas
tanah tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Desa
penglipuran merupakan salah satu desa yang berada di provinsi Bali,tepatnya
yaitu berada di di kelurahan Kubu, Bangli, Bali. Selanjutnya hak-hak atas tanah
di bali dibagi sebagai berikut: hak agrarisch eigendom, milik, yasan andarbeni
hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landerijen
bezitsrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas tanah-tanah partikelir, hak
vructgebruik, gebruik, grant controleur, bruklen, ganggam bauntuik, ang gaduh,
bengkok, lungguh, pituas, hak gogolan, pekulen/sanggau. Baru kemudian setelah
keluarnya peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 ditambah
dengan Surat Keputusan Menteri dalam Negeri No. SK26/DDA/1970 dipastikan bahwa
hak-hak tanah sebagaimana diatur oleh ketentuan konversi pasal II, VI, Vii dari
UUPA adalah hak-hak Indonesia atas tanah.
Di
Bali tanah-tanah adat lebih dikenal dengan nama “tanah druwe desa” yang artinya
tanah-tanah kepunyaan desa adat. Tanah Druwe Desa terdiri dari: Tanah Desa, tanah laba pura, tanah
pekarangan desa dan tanah ayahan desa. Pemanfaatan tanah adat yang dimilik
desa pakraman menimbulkan tiga bentuk fungsi dari tanah tersebut yaitu
berfungsi ekonomi, berfungsi sosial, dan berfungsi keagamaan.
Tanah
adat di panglipuran berupa: 45 hektar hutan bambu, 50 hektar tegalan (ladang),
9 hektar pemukiman terdiri dari 76 kaplingan, sisa untuk tempat umum seperti
bale banjar, sekolah, dsb yang pengelolaannya dilakukan sendiri oleh masyarakat
setempat.
Dari penilitian yang pernah dilakukan
ada sebagian desa (terutama desa-desa Bali Age) masih mempertahankan hak ulayat
desa. Begitu juga sebagian besar desa (terutama bali Dataran) tidak mempersoalkan
pemilikan tanah, tetapi lebih menuntut pelaksanaan ayahan saja ini membuktikan
bahwa ulayat semakin melemah. Kekuatan hak ulayat terhadap tanah-tanah Adat di
Bali adalah melekat pada fungsi tanah adat yang meliputi: a) Fungsi Keagamaan,
b) Fungsi Sosial, c) Fungsi Ekonomis.
Terdapat
tiga subyek hak yang dapat melakukan permohonan konversi di bali, yaitu:
desa adat (belum ditunjuk sebagi subyek hak yang dapat mempunayi hak milik atas
tanah), pura (Pura telah ditunjuk sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah) dan krama desa (dapat mempunyai hak milik setelah
memenuhi syarat)
DAFTAR
PUSTAKA
Harsono, Boedi. 1981. Hukum Agraria Indonesia Himpunan
Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.
Muhammad, Bushar. 1983. Asas-Asas
Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Rimbawa, Made. 2007. Komunikasi
Personal, Kelihan Desa Adat Madya Buleleng, Bali.
Sanusi, Achmad. 2002. Pengantar
Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: Tarsit.
Suandi. 2007 Komunikasi Personal, Kelihan Desa
Pakraman Banyuasri, Buleleng, Bali.
Suasthawa, M. 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat
Bali Setelah Berlakunya UUPA. Denpasar : CV.Kayumas Agung
Wiguna, I
Gusti Ngurah Tara. 2009. Hak-hak Atas
Tanah Pada Masa Bali Kuna Abad X dan XI Masehi. Denpasar: Udayana
University Press.
Website:
http://id.wikipedia.org (diakses
18 Oktober 2012)
http://jurnalperspektif-fhuwks.blogspot.com/2011/07/konsep-komunal-religius-sebagai-bahan.html
(diakses 18 Oktober 2012)
Peraturan Perundangan:
Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)
ATURAN
LARANGAN MENELANTARKAN TANAH
Undang - Undang
No. 5 / 1960 ( Agraria / UUPA ) mengingatkan kita semua, terutama para Pemegang hak, untuk tidak
menelantarkan tanahnya secara sengaja. Keseriusan UUPA melarang adanya tindakan
penelantaran tanah, nampak pada ancaman berupa sanksi yang akan diberikan,
yaitu : “Hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan, Pemutusan hubungan hukum
antara Tanah dan Pemilik, dan tanahnya akan ditegaskan sebagai Tanah Negara
(Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara ), sebagaimana dalam Pasal 27, 34 dan
40 UUPA”.
Pasal 27.
Hak milik hapus bila:
a. tanahnya jatuh kepada negara,
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan -pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
b. tanahnya musnah.
Pasal 34.
Hak guna-usaha hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
Pasal 40.
Hak guna-bangunan hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
Definisi mengenai Tanah
Terlantar terdapat dalam Penjelasan Pasal 27 UUPA, yang menegaskan bahwa "
Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya ". Namun
sejak pengundangan UUPA, Pasal-pasal mengenai tanah terlantar ini tidak dengan
serta merta dapat dilaksanakan, sebab juklak pasal tersebut diatas belum
diterbitkan, akibatnya larangan penelantaran tanah tidak efektif, sehingga
tindakan penelantaran tanah semakin meluas dan tak terkontrol.
Kondisi ini menyadarkan
Pemerintah untuk segera bertindak, maka pada Tahun 1998 ( kurang lebih 30 Tahun
kemudian ), Pemerintah menerbitkan juklak tata cara penyelesaian Tanah
Terlantar melalui Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 36 / 1998, akan tetapi dalam
prakteknya penerapan PP ini kurang kondusif, sehingga berdasarkan tuntutan
dinamika pembangunan, Pemerintah kembali meninjau dan membaharui PP No. 36 /
1998 dengan PP No. 11 / 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar.
Selanjutnya, PP No. 11 /
2010 jo Peraturan Ka.BPN No. 4/2010 pada prinsipnya mengatur tata cara mengenai
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, melalui serangkaian tindakan.
Kesimpulan
1. Akibat hukum terhadap pemilik Hak atas Tanah yang
Diterlantarkan adalah secara yuridis, dilarang menelantarkan tanah sebagaimana
dinyatakan dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban bagi pemegang hak
atas tanah (Pasal 6, 7, 10, 15,19 UUPA) yang merupakan asas-asas yang ada dalam
UUPA. Pelaksanaan hak yang tidak sesuai dengan tujuan haknya atau peruntukannya
maka kepada pemegang hak akan diiatuhi sanksi yaitu hak atas tanah itu akan
dibatalkan dan berakibat berakhirnya hak atas tanah. Selanjutnya secara
sosiologis tanah sangat erat melekat dan dibutuhkan oleh rakyat, karena tanah
menjadi sumber penghidupan mereka yaitu untuk tempat tinggal mereka, untuk
tumbuh dan berkembangnya keluarga dan tanah dipakai untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi mereka, itu sebabnya menelantarkan tanah dilarang.
2. Perlindungan hukum bagi pihak yang menguasai dan
mengelola tanah terlantar adalah adanya sertifikat hak atas tanah pemiliknya
akan terlindungi dari tindakan sewenang-wenang dari pihak lain, serta mencegah
sengketa kepemilikan tanah. Dengan kata lain bahwa dengan terdaftarnya hak kepemilikan
atas tanah seseorang warga masyarakat maupun badan hukum oleh negara dan dengan
diterbitkan tanda bukti kepemilikan berupa sertipikat hak atas tanah, negara
akan memberikan jaminan keamanan terhadap pemilikan tanah serta agar dapat
dimanfaatkan secara optimal. Sebaliknya terhadap tanah-tanah yang belum
didaftarkan maka negara tidak menjamin kepastian hukum dan haknya bagi pemilik
atau yang menguasainya.
3. Upaya penanggulangan penguasaan atau pemilikan tanah
yang diterlantarkan sangat berkaitan erat dengan kebijakan pertanahan yang ada.
Penerapan norma dalam pelaksanaannya identik dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
Timbulnya hak dan kewajiban karena hubungan hukum (keperdataan) antara subyek
dengan obyeknya (tanah). Tentu saja dalam melaksanakan kewajiban seorang subyek
pemegang hak atas tanah harus dilandasi oleh itikad baik (te goede trouw).
Dalam pelaksanaan kewajiban pemegang hak atas tanah, itikad baik memegang
peranan yang sangat penting guna terwujudnya pengelolaan pertanahan yang
memberi kesejahteraan pada masyarakat. Jadi upaya penertiban tanah terlantar, penanganannya
lebih kearah pendayagunaan tanah dengan memberikan solusi-solusi penyelesaian
yang lebih manusiawi,
meskipun tidak kehilangan efektifitasnya.
0 komentar:
Posting Komentar